NIAGA

Terlahir di tengah keluarga ber-tradisi-kan Jawa, dalam kontek 'pekerjaan', terkadang membuat minder.
Pekerjaan dagang, misalnya.
Pekerjaan ini, dalam pandangan Jawa derajatnya amat rendah. Malah menjadi petani lebih mulia. Bahkan, begitu rendahnya, sampai sampai orang jawa memiliki 'wejangan diskriminatif': "Angger, puteraku, janganlah kamu hidup dengan memiliki hati pedagang, tidak elok, Ngger!"
Seolah pedagang adalah tempat banyak penyakit sosial. Bersarangnya segala jenis tabu.
Sikap Hemat mereka katakan sebagai pelit.
Cermat dan teliti, mereka sebut perhitungan atau dalam konsep Jawa disebut "pritungan".
Tidak mau rugi mereka cemooh sebagai selalu mengambil keuntungan dari orang lain.
Tahu peluang mereka katakan sebagai suka memanfaatkan kesempatan di kala yang lain sedang sempit.
Terampil seni politik strategi, mereka curigai sebagai berwatak culas, licik dan siasat.
Mengelola informasi mereka fonis sebagai tidak jujur, suka bohong, dan penipu.
Pendek kata, tak ada yang baik dari pedagang.
Dalam persepsi Jawa yang semacam inilah saya hidup dan terjebak di tengahnya.
Saya adalah seorang 'pedagang'. Atau setidaknya, hidup saya, selalu bersinggungan dengan dunia perdagangan.
Saban hari, saya berada di pasar.
Harusnya saya pantas berkecil hati dengan prasangka Jawa tadi.
Namun, saya bersyukur Orde Baru telah berhasil menggeser pandangan miring ini.
Orde Baru lah rejim yang paling sukses menjungkir balikkan cara berpikir Jawa.
Sejak Penanaman Modal Asing diundangkan dan investasi berbondong bondong datang.
Berlangsunglah sebuah gerakan, apa yang oleh ilmu sosial disebut sebagai 'mobilisasi' besar besaran.
Mobilisasi horisontal dari masyarakat pedesaan yang agraris berpindah ke perkotaan yang industrialis.
Jaman ini diisi dengan kisah pembabatan sumber daya manusia, dari sektor tradisional dihabisi untuk kemudian lantas digiring ke arah sektor modern.
Pemuda desa tak mau lagi hidup sebagai petani, malu katanya. Mereka lebih percaya diri dengan menjadi buruh pada seorang majikan di kota, atau menjadi pedagang kecil. Pedagang tak berijin: sektor informal, kata ilmuwan sosiolog.
Ekonomi Jawa sedang tumbuh dengan kencang.
Berakibat pula pada mobilisasi vertikal. Dari level miskin naik ke level sejahtera. "Kere munggah bale", kata orang Jawa.
Sejak itu jawa dihadapkan pada pandangan yang ambivalen. Khas, seperti watak Jawa pada umumnya, hipokrit. "Inggih tapi tak kepanggih".
Kebencian pada pedagang yang mendalam di satu sisi, tapi pada sisi lain dibarengi dengan rasa kagum dengan cerita sukses para handai tolan mereka yang mengabdikan dirinya pada para majikan di kota, pada perniagaan.
Setting sukses ekonomi rejim Orde Baru ini tentu saja berimbas pada cara pandang Jawa.
Kita tahu, sebelum ini, Jawa merupakan wilayah paling letih.
Bukan saja oleh perang dan silih bergantinya kekuasaan, tapi juga oleh perubahan bermacam format model ekonomi-politik masyarakat.
Di mulai dari model communal premitive, berubah menjadi Traditional Agrarische, lalu berubah ke arah Feodalisme, berubah terus menjadi Kolonial, kemudian Nasional, dan sekarang terintegrasi menjadi Internasional.
Dan memanglah, pada akhirnya, Tanah Jawa sedang berubah dan akan terus berubah.
Dulu, kehormatan, juga wibawa, oleh Jawa, dilekatkan pada kedudukan tinggi.
Ada para raja, bangsawan, dan priyayi di atas sana. Menyusul kemudian kawula biasa, dari bermacam profesi di bawah, dengan mengecualikan pedagang.
Sekarang, pedagang tak ubahnya selebritis. Mereka menjadi perbincangan di mana mana. Wajah para pedagang dijadikan ikon pada banyak sampul majalah. Begitu prestise. Begitu bergengsi.
Bahkan idiom ekonomi sudah menasional, menghegemoni kesadaran kolektif.
Saat ini, orang terkaya lebih kerap dipergunjingkan dari pada orang terpintar berilmu.
Jika ada sedikit kebanggaan yang pantas saya aktualisasikan, itu karena pedagang pernah mengambil peran penting, bagi terjadinya perubahan politik masyarakat dunia.
Paling tidak, konsep 'midle class' adalah istilah politik yang dipungut dari para saudagar ini. Ketika terjadi bargaining power antara golongan pedagang dengan kekuasaan monarchie absolute yang dimenangkan oleh pedagang.
Di awali dari kebangkrutan Neraca Anggaran Monarchie yang menyebabkan Negara kekurangan biaya operasional untuk menjalankan roda pemerintahan, maka para pedagang atau si merchantilis ini mampu memaksa penguasa untuk memberikan sebagian kekuasaannya sehingga sang penguasa tak lagi power full.
Dengan kompensasi pemberian utang Negara dari kelas pedagang, lantas kekuasaan beralih ke tangan pedagang. Secuil kekuasaan itu tidak lain adalah kekuasaan di bidang perumusan peraturan: Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan negara.
Berakhirlah kekuasaan morarchie absolute. Berganti dengan monarchie di mana duduk di sebelah penguasa, si para pedagang: si kelas menengah.
Pedagang menjadi legislator. Memegang kekuasaan public policy di gedung parlemen.
Pedagang mengakhiri riwayat monolitik sang Kaisar!
Sekarang saya sudah tidak pernah lagi mendengar 'wejangan diskriminatif': "Angger, puteraku, janganlah kamu hidup dengan memiliki hati pedagang, tidak elok, Ngger!"
Karena di Jawa, kekuatan daya magnet massa, telah berpindah. Dari sitinggil keraton menuju ke Plaza!
Wani piro?!

Post a Comment

 
Support : Creating Website | AIR Template | AIR
Copyright © 2011. JingGA Gaya (GROSIR ONLINE) - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by AIR Template
Proudly powered by AIR REFERENCE